Spotlight

Mahfud Md:

Perppu Ciptaker Pilihan Presiden

Sejak awal pemerintah tidak menginginkan Undang-Undang Ciptaker dibahas ulang DPR. Opsi perppu jadi fokus utama pemerintah untuk menindaklanjuti putusan MK. Mahfud Md menceritakan proses pembuatannya.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Rabu, 11 Januari 2023

Presiden Joko Widodo mengumpulkan beberapa menterinya pada Jumat, 30 Desember 2022, di Istana Negara. Itu terjadi menjelang penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, serta Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah hadir dalam rapat kabinet terbatas itu.

Dalam rapat itu, Presiden Joko Widodo meminta para menterinya mencari solusi dan menyampaikan argumen hukum untuk menerbitkan Perppu Ciptaker atau tidak. Sempat terjadi perdebatan panjang dalam rapat tersebut. Mahfud Md menuturkan ada menteri yang sempat menolak Perppu diterbitkan.

Viktor Santoso, kuasa hukum pemohon uji formil Perppu Ciptaker dari berbagai elemen masyarakat ke Mahkamah Konstitusi, Kamis (5/1/2023). 
Foto : Tiara Aliya Azzahra/detikcom

“Ada yang, ‘Pak, jangan Pak, karena bunyinya harus diperbaiki dulu’. ‘Loh, kan nggak ada isi yang diuji’, gitu kata yang lain,” terang Mahfud kepada reporter detikX pada Rabu, 4 Januari 2023.

Ada yang, ‘Pak, jangan Pak, karena bunyinya harus diperbaiki dulu’. ‘Loh, kan nggak ada isi yang diuji’, gitu kata yang lain.”

Pada akhirnya, kata Mahfud, Presiden memilih tetap menerbitkan Perppu Ciptaker. Aturan baru ini sekaligus menganulir putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang sebelumnya menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat. 

Kepada reporter detikX, Fajar Yusuf Rasdianto, Mahfud Md menceritakan proses pembentukan Perppu Ciptaker ini dalam sejumlah rapat kabinet yang digelar di Istana Negara. Berikut perbincangan mereka.

Bisa diceritakan latar belakang pembentukan Perppu Cipta Kerja?

Begini, ketika Undang-Undang 11 Tahun 2020 itu diputus inkonstitusional bersyarat, artinya dia inkonstitusional dari sudut prosedur, bukan isinya. Nggak ada isi yang dibatalkan di undang-undang itu. Prosedurnya yang dianggap salah.

Nah, perintah MK, prosedur yang benar itu adalah masukkan dulu metode omnibus law itu di dalam proses legislasi, di dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Perintahnya itu. Nggak dikatakan bahwa Undang-Undang Ciptaker itu isinya salah, yang dikatakan prosedurnya salah. Iya, kan? Kenapa salah? Karena dia pakai sistem omnibus law, sedangkan omnibus law itu belum masuk dalam tata hukum kita.

Nah, peraturan perundang-undangan yang baru itu sudah ada, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Di situ sudah ada ketentuan bahwa omnibus law itu dibenarkan sebagai metode. Nah, di situ kita lalu beranjak pada kebutuhan peraturan perundang-undangan itu sekarang harus diberlakukan.

MK memberikan waktu dua tahun sejak putusan pada November 2021. Artinya, masih ada waktu sampai November 2023 nanti untuk memperbaiki UU Ciptaker. Kenapa terburu-buru?

MK memberikan waktu dua tahun, tapi artinya kan dalam dua tahun, bukan harus dua tahun. Kalau bisa, lebih cepat, kan bisa. Yang penting diperbarui sesuai dengan metode omnibus law dengan undang-undang dan/atau yang setingkat dengan undang-undang. Kalau undang-undang itu kan termasuk perppu, atau perppu itu proses menuju undang-undang juga. Sebentar lagi jadi undang-undang.

Kenapa harus perppu? Apa tidak memungkinkan untuk membentuk undang-undang dengan jalur yang umum?

Ya, karena ada keperluan untuk melakukan langkah-langkah strategis. Nah, MK menyatakan tidak boleh mengambil langkah strategis sebelum itu diperbarui. Nah, diperbaruinya dengan perppu ini kan bisa jadi langkah strategis.

Langkah strategis diperlukan karena ada keperluan mendesak, yang secara subjektif dianggap oleh Presiden mendesak. Apa itu? Yaitu geopolitik di beberapa kawasan panas, perang Rusia-Ukraina menurut Presiden jadi alasan genting untuk segera mengantisipasi dengan membuat langkah strategis. Langkah strategisnya nggak boleh dibuat kalau belum ada undang-undang atau perppu. Itu tafsir Presiden.

Perppu hanya boleh diterbitkan dalam situasi kegentingan yang memaksa. Apa yang membuat Presiden menganggap keadaan sudah genting?

Ancaman resesi, ekonomi, ancaman inflasi dan stagflasi. Kemudian tersendat-sendatnya proses investasi. Itu alasan Presiden untuk menyatakan itu genting.

Mungkin pertanyaan berikutnya, kenapa kok Presiden itu menganggap itu genting? Semua teori hukum tata negara mengatakan urusan genting dan tidak genting itu adalah hak subjektif Presiden. Yang mengkritik Perppu Ciptaker ini maupun yang setuju, pasti sama pendapatnya bahwa urusan alasan kegentingan itu adalah hak subjektif Presiden, yang nanti akan dipertanggungjawabkan di DPR dalam proses political review dan legislative review, kan itu, dalam waktu kira-kira dua bulan ke depan, kan gitu kan, masa sidang berikut.

Massa buruh menggelar unjuk rasa didepan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (10/1/2023).
Foto : Agung Pambudhy/detikcom

Banyak kritik terkait penerbitan Perppu Ciptaker, bahkan sudah ada yang mengajukan gugatan ke MK. Bagaimana Anda menjawabnya?

Kalau orang nggak setuju, ya silakan saja. Ada kemarin yang bertanya, ‘Pak, ini kalau dibuat perppu, sudah pasti kena uji materi’. Loh, nggak dibuat perppu juga sudah pasti kena uji materi. Di mana di Indonesia yang nggak diuji materi? Wong undang-undang belum ada saja sudah ada yang mendaftarkan uji materi.

Sehingga nggak usah nunggu kalau mau memang diuji sekarang, cepat-cepat saja biar diuji sekarang. Wong besok apa pun isinya juga pasti akan diuji materi.

Kalau Anda nggak setuju, Perppu paling lambat kan Maret (2023) sudah ada sidang, sidang berikutnya. Kan gitu saja. Diuji di situ secara politik maupun secara legislasi. Itu saja bahwa orang tidak setuju ya biasa saja. Ada yang setuju. Ada yang ndak. Yang penting proporsional saja bahwa itu kritik, tidak apa-apa. Kita juga siap kok….

Syarat penerbitan undang-undang harus ada naskah akademik. Sementara Perppu tidak mengharuskan adanya naskah akademik….

Loh, kajiannya kan sudah ada ketika Undang-Undang Ciptaker-nya itu sudah ada, yang itu tidak dibatalkan oleh MK. Yang dibatalkan itu prosedurnya, bukan isinya. Coba saya ingin tahu, ini tulis ini, bagian mana dari isi Undang-Undang Ciptaker itu yang dibatalkan oleh MK? Coba tunjukkan ke saya. Nggak ada yang dibatalkan, hanya disarankan diperbaiki isinya. Yang diwajibkan itu prosedurnya supaya disusun menurut omnibus law. Omnibus law itu dimasukkan dulu di dalam tata hukum kita.

Salah satu yang ditekankan MK dalam putusannya adalah minimnya partisipasi publik. Kenapa malah memilih perppu, yang malah sama sekali tidak melibatkan partisipasi publik?

Gini, partisipasi publiknya itu sudah melekat pada penyusunan materi ketika Undang-Undang Nomor 11 (Tahun 2020) itu dibahas. Karena kita tidak banyak mengubah kecuali kemudian mengubahnya itu penyesuaian upah sesuai dengan usul-usul dari serikat-serikat pekerja itu masuk. Tetapi dulu itu sudah diserahkan ke MK semua, ketika undang-undang yang dibatalkan prosedurnya itu karena tidak ada metode omnibus law.

Itu sudah diserahkan semua, rapat tanggal berapa, siapa yang ini, sudah diserahkan semua. Nah, kalau itu dianggap kurang partisipatif lagi, nanti diuji lagi saja. Kalau saya sih cuma begitu, sederhana.

Kita juga sudah berdebat kok di kabinet, seperti perdebatan yang ada sekarang di masyarakat. Ada yang setuju, ada yang tidak. Di kabinet juga ramai.

Ramai bagaimana?

Oh, iya, ramai. Ada yang, ‘Pak, jangan Pak, karena bunyinya harus diperbaiki dulu’. ‘Loh, kan nggak ada isi yang diuji’, gitu kata yang lain. Nggak ada isinya yang dibatalkan oleh MK. MK hanya menyatakan prosedurnya harus menampung omnibus law dibuat dulu. Bahwa omnibus law itu diakui di tata hukum kita dan dibuat undang-undang baru yang bentuknya perppu yang sebentar lagi pasti akan menjadi undang-undang atau tidak itu di DPR kan.

Itu saja karena sudah disesuaikan dengan omnibus law. Gitu saja. Pikirannya sederhana ya. Artinya, kalau bicara sah, bicara kesahan, sudahlah 100 persen sah itu, kalau keyakinan kami. Kalau materinya disetujui atau tidak, itu nanti. Kan ada pengujiannya, nanti kan ada politik, ada legislatif, ada yudikatif lagi, judicial review, legislative review, political review, semuanya masih ada di depan kita.

Menteri apa yang sempat menolak?

Nggak usah disebut ya, nggak etis itu. Makanya agak lama, sampai ditunda itu. Kan seharusnya tiga hari sebelumnya sudah diketok, tapi ada perbedaanlah di antara kabinet. Terus (kata) Pak Jokowi, “Sudah, saya minta waktu dua hari supaya dicari dulu solusi. Kalau tetap tidak ketemu, nanti di sidang berikutnya kita putuskan.”

Solusi apa yang dicari waktu itu?

Ya, solusi tuh yang terakhir itu. Antara yang setuju perppu dan tidak setuju perppu sudah berdebat, dicari alasan-alasan hukumnya, materi apa yang harus dimasukkan lagi. Itu juga berdebat sampai ada setuju atau tidak. Akhirnya ya sudah.

Memang yang ikut rapat di kabinet siapa saja?

Menterinya dong. Ada Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah? Ada, hadir. Pak Airlangga (Hartarto)? Ada, hadir.

Berapa kali Perppu Ciptaker dibahas? Sejak kapan?

Oh, berkali-kali. Ya begitu diputuskan oleh MK itu. Sudah sering. Saya sering hadir rapat juga dari 2021. Dibatalkannya November 2021, ya sejak itu kami setiap saat bahas, terutama menyangkut soal omnibus law-nya itu. Kalau materinya untuk apa lagi dibahas, wong ndak dibatalkan. Biar nanti diuji lagi kalau mau.

Sebulan terakhir ini berapa kali dirapatkan?

Wah sering, yang terakhir itu pas (sebelum) diumumkan itu dibahas lagi itu. Tanggal berapa tuh? Tanggal 30 (Desember 2022) kan. Nah tanggal 30 tuh rapat paginya, ramai-ramai setuju tidak setuju. Lalu, ini sudah pilihan Presiden. Lalu ditugaskan kita yang umumkan.

Yang dibahas prosedurnya saja ya? Bukan materi?

Memang kalau ini materinya tidak banyak dibahas karena tidak pernah dibatalkan oleh MK. Hanya disebut prosedurnya yang salah. Adapun materinya sambil menunggu prosedur, sambil diperbaiki, tapi tidak dibatalkan.

Boleh disimpulkan bahwa memang sejak awal pemerintah tidak menginginkan materi UU Ciptaker dibahas ulang oleh DPR?

Tidak merasa ada keharusan untuk membahas materinya. Karena yang dibatalkan itu prosedurnya. Kita benarkan prosedurnya. Meski begitu, masukan-masukan itu tetap, “Wah, ini ubah kalimatnya, itu tetap ada”, tapi tidak perlu debat publik lagi.

Karena itu pemerintah merasa tidak perlu lagi melempar UU Ciptaker ke DPR?

Nggak. Karena memang MK tidak mengharuskan membahas lagi.


Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE