Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jelang Perdagangan Karbon, IESR Minta Batas Emisi PLTU Lebih Progresif

Pemerintah akan mengimplementasikan mekanisme perdagangan karbon atau carbon trading untuk mempercepat raihan bauran energi 25 persen pada 2025 mendatang.
Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (19/9/2022). ANTARA FOTO/Jojon
Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (19/9/2022). ANTARA FOTO/Jojon

Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa meminta pemerintah untuk membatasi emisi yang lebih progresif untuk mempercepat pengurangan gas buang pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara saat kebijakan pajak dan perdagangan karbon resmi diimplementasikan.

“Ya lebih progresif batasannya sehingga PLTU-nya bisa mengupayakan untuk menurunkan emisi mereka lebih jauh lagi,” kata Fabby saat konferensi pers selepas acara "Indonesia Sustainable Energy Week" (ISEW), Jakarta, Senin (10/10/2022).

Hanya saja, kata Fabby, industri terkait mesti menyesuaikan kembali belanja modal atau capital expenditure (Capex) yang mesti dikeluarkan saat batasan emisi itu berlaku progresif.

“Ini butuh investasi yang harus dihitung ulang lagi dampaknya kita baru bisa tahu saat pajak dan perdagangan karbon dilaksanakan,” tuturnya.

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana memastikan pemerintah akan segera mengimplementasikan mekanisme perdagangan karbon atau carbon trading untuk mempercepat raihan bauran energi 25 persen pada 2025 mendatang.

Apalagi, kata Rida, pemerintah sudah merampungkan sejumlah regulasi terkait untuk mempercepat pelaksanaan perdagangan karbon tersebut.

“Besok lusa kalau perekonomian makin baik perdagangan karbon ini akan segera diimplementasikan secara regulasi semua sudah siap,” kata Rida.

Hanya saja, Rida mengatakan kementeriannya masih menunggu alokasi anggaran yang disiapkan otoritas fiskal untuk mendukung implementasi perdagangan karbon tersebut. Rida beralasan seluruh aset yang dikelola PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN sepenuhnya bergantung pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

“Semua infrastruktur PLN ini bergantung pada APBN ini perlu dihitung-hitung termasuk nanti harga karbon dan seterusnya,” kata dia.

Kendati demikian, dia memastikan, kementeriannya terus berupaya untuk meningkatkan raihan bauran energi bersih 25 persen mendatang selepasnya terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik atau Perpres EBT bulan lalu.

“Yang penting kami terus bergerak kita sudah siapkan data sumber daya dan RUPTL juga sudah diatur lebih banyak EBT-nya serta pensiun dini PLTU sudah bisa dilakukan sebelum 2030,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper