Pentingnya Optimasi Gas di Masa Transisi Energi

Eqqi Syahputra, CNBC Indonesia
News
Minggu, 14/05/2023 17:20 WIB
Foto: dok PGN

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dinilai perlu mempersiapkan diri terhadap naik-turunnya harga komoditi dan bersiap dengan apa yang akan dikerjakan. Hal ini berkaitan dengan imbas gejolak geopolitik Rusia-Ukraina yang terus berlanjut dan berpengaruh terhadap komoditi energi.

Komisaris Utama PGN, Arcandra Tahar mengatakan bahwa salah satu hal yang bisa dilakukan Indonesia menangani keadaan ini yakni dengan memanfaatkan peluang di masa transisi energi menuju energi terbarukan.

"Saat ini kita masih berputar dengan fosil, suatu saat nanti akan ke zero emisi. Di antara fosil dan zero emisi ada di tengah-tengah itu dinamakan transisi. Masa transisi, energi fosil yang impact emisi terhadap environment kecil atau minimum, dalam hal ini adalah gas bumi. Maka gas menjadi pilihan yang harus kita gunakan selama masa transisi, sebelum nanti benar-benar beralih ke NRE," ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (14/5/2023).


Dia menambahkan, gas bumi merupakan salah satu komoditi energi yang ikut berperan dalam mendorong ketahanan ataupun kemandirian energi dalam negeri saat ini. Di sisi lain, menurutnya pembangunan industri manufaktur juga akan meningkat, yang akan berdampak pada kebutuhan komoditas energi juga meningkat.

Umumnya, gas menggunakan pipa ke industri yang membutuhkan atau bisa juga diubah menjadi LNG yang saat ini sudah berfungsi sebagai komoditi dan bisa diperjual belikan.

"Menurut hemat saya, transisi energi, lebih kepada local wisdom. Eropa mati-matian dengan wind (angin), karena memang anginnya kencang di sana. Di Timur Tengah menggunakan matahari. Indonesia, (local wisdom) apa yang kita punya untuk renewable energy. Dari sisi kebijakan, pemerintah sekarang sudah memikirkan dengan matang termasuk dalam hal pemanfaatan gas di masa transisi," terang Arcandra.

Lebih lanjut, Arcandra menuturkan Indonesia juga perlu lebih mengedepankan langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk memitigasi dampak dari ketidakpastian tersebut geopolitik. Di Eropa, mitigasi yang dilakukan yakni mereka berlomba membangun fasilitas infrastruktur agar LNG dari negara pengekspor gas bisa masuk ke Eropa. Akibatnya, dengan dimerdekakannya Eropa dari ketergantungan gas dari satu negara, kemungkinan harga gas akan turun.

Di Indonesia ketergantungan impor cukup besar. Kebutuhan minyak dalam negeri kira-kira adalah 1,4 juta barrel per hari. Sedangkan produksi kilang dalam negeri untuk menghasilkan BBM sekitar 800 ribu barel per hari. Hal ini, menyebabkan impor BBM sekitar 600 ribu barel per hari.

Di sisi lain, kondisi kilang dalam negeri dulunya didesain hanya dapat menerima jenis minyak mentah tertentu. Memang, minyak mentah yang diolah di kilang yang bukan spesifikasinya, dapat menghasilkan produk turunanya BBM dan lain-lain. Akan tetapi tidak seefisien mengolah minyak mentah yang sesuai dengan spesifikasi kilang.

"Pemerintah tahu persis dan bagaimana seharusnya bertindak. Dari sisi geopolitik dan hubungan bilateral menjadi pertimbangan pemerintah dalam menyikapi perpolitikan dunia, karena impact-nya cukup besar. Tentunya kita bisa mempertimbangkan kebijakan negara lain yang cocok untuk dicontoh. Seperti halnya dalam menentukan strategi-strategi transisi dengan diversifikasi usaha ataupun dekarbonisasi menuju renewable energy," pungkas Arcandra.

Saksikan video di bawah ini:

Video: Punya Pengalaman 40 Tahun, Ini Jurus API Kembangkan Geothermal


(dpu/dpu)