Sectoral Insight

SVB Jadi "Tumbal" Perang The Fed Melawan Inflasi

Research - Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 March 2023 08:25
SVB Foto: Reuters
  • Silicon Valley Bank yang ditutup pada Jumat pekan lalu turut menyeret Signature Bank. Dua hari berselang bank yang berfokus pada industri kripto ini juga ditutup.
  • Pemerintah AS dan The Fed menjamin semua simpanan nasabah kedua bank tersebut bisa dicairkan sejak Senin waktu setempat, diharapkan tidak memicu kepanikan yang meluas ke sistem perbankan. 
  • Suku bunga tinggi di Amerika Serikat menjadi salah satu penyebab kolapsnya SVB dan merembet ke Signature Bank. The Fed kini berada dalam dilema, terus menaikkan suku bunga guna meredam inflasi, atau menghentikannya melihat tekanan yang terjadi di sistem finansial.

Jakarta, CNBC Indonesia - Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) masih terus menjadi perbincangan di dunia pasar finansial. Bank dengan aset US$ 209 miliar, terbesar ke-16 di Amerika Serikat (AS), ini resmi ditutup pemerintah Jumat pekan lalu akibat kesulitan pendanaan.

Kasus SVB kemudian merembet ke Signature Bank yang berfokus pada industri kripto.

"Itu adalah kepanikan yang ditimbulkan oleh SVB. Kami baik-baik saja sampai beberapa jam terakhir pada hari Jumat," kata petinggi Signature Bank, Barney Frank dalam sebuah wawancara, dilansir The Wall Street Journal.

Signature Bank juga ditutup oleh regulator AS pada Minggu lalu juga akibat kesulitan pendanaan.

Meski demikian, pemerintah dan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menjamin uang simpanan nasabah di kedua bank tersebut bisa dicairkan sejak Senin waktu setempat. Langkah tersebut diharapkan mampu meredam kepanikan, dan tidak merembet ke bank lainnya.

Tingginya suku bunga The Fed menjadi salah satu penyebab kolapsnya SVB. The Fed kini dihadapkan pada dilema, apakah terus menaikkan suku bunga guna menurunkan inflasi atau menghentikannya melihat kolapsnya SVB.

Bank investasi Goldman Sachs memprediksi The Fed tidak akan lagi menaikkan suku bunga, berhenti pada level saat ini 4,5% - 4,75% tertinggi sejak 2007.

"Melihat tekanan yang terjadi di sistem perbankan, kami tidak lagi memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga pada 22 Maret mendatang," kata Jan Hatzius, ekonom Goldman Sachs dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International.

Goldman sebelumnya memprediksi The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin.

Sebelum SVB kolaps, The Fed diprediksi akan kembali agresif menaikkan suku bunga, sebab perang melawan inflasi masih jauh dari kata selesai.

Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed kembali kembali naik 5,4% (year-on-year/yoy) pada Januari dari sebelumnya 5,3%. Padahal sebelumnya sudah dalam tren menurun sejak Juli 2022.

Inflasi inti PCE juga naik menjadi 4,7% dari Desember 4,6%.

Hal ini diperparah dengan pasar tenaga kerja yang masih kuat, sehingga inflasi makin sulit turun. Ketua The Fed, Jerome Powell pun menyatakan suku bunga bisa naik lebih tinggi lagi di hadapan Senat AS pada Selasa pekan lalu.

SVB pun menjadi "tumbal" perang The Fed melawan inflasi.

Banyak perusahaan startup menarik deposito mereka di SVB akibat kondisi saat ini menyulitkan untuk IPO. Penarikan dana yang ditempatkan di bank menjadi jalan untuk menstabilkan kondisi finansial.

Dampaknya, SVB menjadi kekurangan modal. Bahkan, SVB menjual obligasi yang dimiliki dengan kerugian mencapai US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 27,8 triliun (kurs Rp 15.445/US$). Lagi-lagi suku bunga The Fed yang tinggi menjadi biang kerok kerugian tersebut.

Suku bunga yang tinggi membuat harga obligasi AS (Treasury) saat ini sedang jatuh, tercermin dari imbal hasil (yield) yang melesat naik. Maklum saja, para investor melihat penerbitan Treasury yang baru akan menawarkan yield yang lebih tinggi, bahkan menempatkan deposito di perbankan juga suku bunganya lebih menarik.

Alhasil, harga Treasury yang tersedia di pasar langsung terbanting, penjualan yang dilakukan SVB pun berakibat kerugian yang besar.

Pada Rabu pekan lalu, SVB mengumumkan rencana mereka untuk menambah modal sekitar Rp 2,25 miliar

Sebesar US$ 1,25 miliar atau sekitar Rp 19,3 triliun diharapkan diperoleh melalui penjualan saham sementara sebesar US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,7 triliun melalui saham preferen konvertibel.

SVB juga telah mengumumkan deal dengan perusahaan investasi General Atlantic senilai US$ 500 juta melalui penjualan saham.

Namun, rencana tersebut gagal. Investor khawatir beban SVB akan membengkak dan mengalami kesulitan pembayaran mengingat tingginya suku bunga saat ini.

Nasabah dan investor kemudian melakukan penarikan uang secara besar-besaran atau rush. Hingga Kamis (9/3/2023), penarikan menembus US$ 42 miliar atau senilai Rp 648,69 triliun, dan neraca SVB menjadi negatif US$ 958 juta pada penutupan hari itu.

SVB pun akhirnya ditutup oleh Departemen Perlindungan Keuangan dan Inovasi California, dan diserahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan AS (FDIC).

Signature Bank pun mengalami masalah serupa akibat kepanikan yang ditimbulkan SVB. Dua hari berselang bank yang memiliki aset US$ 110 miliar juga ditutup. Saham-saham perbankan di Amerika Serikat pun rontok pada perdagangan Senin waktu setempat, First Republic Bank menjadi yang paling parah setelah anjlok lebih dari 60%. 

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(pap/pap)

[Gambas:Video CNBC]