Ini Catatan Ahli untuk RUU Omnibus Law Kesehatan yang Tuai Polemik
Sejumlah nakes menangis saat penghormatan terakhir kepada bidan Ilah Kurnia yang meninggal akibat COVID-19 di RSUD Indramayu, Jabar, pada Juli 2021. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah ahli serta organisasi profesi kesehatan memberikan sejumlah catatan penting terhadap penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan.

Dalam hal ini, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat memasukkan RUU Omnibus Law Kesehatan sebagai salah satu program legislasi nasional (prolegnas) 2022-2023.

RUU Omnibus Law Kesehatan bakal menghapus sejumlah undang-undang dan menuangkan aturan terkait kesehatan dalam satu regulasi. RUU ini tengah menuai polemik karena ditentang beberapa organisasi profesi.

Sejumlah organisasi pun memberi catatan penting. Catatan ini sempat diungkapkan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Baleg DPR RI beberapa waktu lalu.

Wakil Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Asnawi Abdullah menyoroti soal upaya kesehatan. Dalam draft RUU, terdapat tiga jenis upaya kesehatan, yakni upaya kesehatan pribadi (UKP), upaya kesehatan masyarakat (UKM), dan UKBM (upaya kesehatan bersumber daya masyarakat).

Selama ini, Asnawi memandang upaya kesehatan mengedepankan paradigma sakit dan cenderung reaktif. Dengan memperjelaskan pendekatan, maka harapannya lebih memperjelas peran negara dalam UKM.

"Selama ini, sistem rujukan hanya berjalan di UKP. Sedangkan UKM masih belum jelas berjalan padahal sudah diamanatkan dalam UU Kesehatan, UU Pemda, dan Perpres Sistem Kesehatan Nasional. IAKMI juga mengusulkan agar rujukan UKM mulai dari UKM primer, sekunder, dan tersier, juga diatur dengan baik dalam RUU Kesehatan Omnibus Law," ucap Asnawi dalam keterangan yang dikutip pada Jumat, 18 November.

Kemudian, Ketua IAKMI Ede Surya Darmawan menyoroti rencana mengubah masa berlaku surat tanda registrasi (STR) tenaga kesehatan dari jangka waktu 5 tahun menjadi tanpa jangka waktu.

Ede menyarankan, beleid pasal yang mengatur hal ini harus dikaji lebih dalam. Sebab, sejumlah organisasi profesi mengkhawatirkan adanya penurunan tingkat profesionalitas tenaga kesehatan karena STR yang tidak perlu diperpanjang.

"Para tenaga kesehatan berpotensi tidak akan mau lagi mengikuti pertemuan ilmiah, riset, maupun pengabdian masyarakat yang selama ini berjalan, padahal dinamika perubahan dan perkembangan ilmu pengetahun Kesehatan masyarakat berkembang cepat," ucap Ede.

Ede juga menyoroti hal lainnya, yakni soal Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) berada di bawah Menteri Kesehatan. Padahal, sebelumnya KTKI dan KKI adalah badan otonom, independen, dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Atas hal itu, Ede meminta KKI dan KTKI tetap menjadi lembaga nonstruktural (LNS) dengan penetapan anggota konsilnya oleh keputusan Presiden.

"Jangan sampai, kehadiran RUU Omnibuslaw Kesehatan ini justru menyebabkan KTKI dan KKI menjadi lembaga yang di bawah kementerian/lembaga di bidang Kesehatan," imbuhnya.